Sultratoday.co.id. Jakarta – Anggota Komisi VII DPR RI Nasril Bahar menilai ada persoalan politis di balik pencabutan 385 (baru dirilis 180) Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh pemerintah, melalui Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terhitung sejak 2 Februari hingga 5 Maret 2022. Izin tersebut terdiri dari 248 IUP komoditas mineral dan 137 IUP komoditas batu bara. Oleh karenanya, menurut Nasril, harus ada pendalaman lebih lanjut terkait hal tersebut.
“Agak bingung juga ya. Di sini saya lihat ada dua hal. Satu sisi terkait kajian teknis dikeluarkan oleh Kementerian ESDM, dan ada tiga kali surat peringatan hingga tanggal 14 Maret 2022 kemarin (atau enam hari yang lalu) sebagaimana yang dipaparkan Sekjen APNI. Ini saya lihat tidak ada pencabutan. Tapi dikatakan tadi sudah ada pencabutan oleh Kementerian Investasi. Contohnya PT Madani Sejahtera. Menerima surat pencabutan oleh Kementerian Investasi tanggal 2 Maret 2022, tapi tanggal 14 Maret masih diberi peringatan oleh Kementerian ESDM.
Ini memang aneh,” ujar Nasril dalam RDPU Komisi VII DPR RI dengan Asosiasi Pengusaha Nikel Indonesia (APNI), di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Selasa (22/3/2022).
Dari sana Nasril mengkaji ada teknis versus politis. Oleh karena itu, pihaknya ingin mengurai kembali regulasi yang sama-sama diterbitkan oleh perundang-undangan. Dimana letak permasalahannya. Pasalnya, salah satu fungsi parlemen adalah membuat regulasi (undang-undang) bersama pemerintah.
Tentu dari hierarkinya tidak boleh ada turunan undang-undang, baik itu berbentuk perpres maupu Keputusan Menteri (Kepmen) yang tidak sesuai dengan undang-undang sebagai sebuah produk hukum di atasnya.
Sebagai solusinya, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini menilai ada dua hal yang harus didalami lebih lanjut, yakni persoalan teknis, dan persoalan politik. Ini semua harus dibicarakan oleh Kementerian Teknis, yakni Kementerian ESDM, khususnya Dirjen Minerba.
Karena banyak hal yang dirugikan dari sebuah kebijakan yang tidak ada keberpihakan. “Oleh karenanya saya bersama APNI untuk menyelesaikan hal ini,” tegas Nasril.
Senada dengan Nasril, Anggota Komisi VII DPR RI Sartono mengaku kaget dengan adanya pencabutan ratusan IUP tersebut. Terlebih ada perusahaan yang masih dalam proses produksi. Pasalnya, dalam dunia usaha ini, sebuah investasi itu panjang prosesnya dan berdarah-darah, namun ujug-ujug dengan sIstem OSS (Online Single Submission) itu dilakukan pencabutan IUP.
Politisi Partai Demokrat itu menduga sistem tersebut tidak mengerti permasalahan di lapangan. Sehingga tidak ada verifikasi faktual, atau konfirmasi. Dengan kata lain hanya robot saja yang melalukan proses tersebut.
Hal ini juga yang diadukan oleh beberapa pihak lain, seperti pemda jawa tengah beberapa waktu lalu. Permasalahan-permasalahan tentang OSS ini harus ada koreksi yang mendalam, koreksi yang radikal.
“Maksudnya baik, tapi mekanismenya tidak berjalan dengan baik. Tadinya ingin menertibkan, tapi akhirnya malah kekacauan. Oleh karenanya saya minta dalam rekomendasi nanti dari komisi VII dipaparkan permasalahan yang ada di lapangan, sehingga harus membahas kembali hal ini dengan Kementerian ESDM. Ini menyangkut ratusan ribu jiwa, juga pendapatan Negara.
Kita ingin mendapatkan pendapatan negara dalam situasi ekonomi kita yang sedang tidak beruntung ini, tetapi malah jadi hilang potensi itu, pengangguran meningkat, dan antusias untuk menjadi pengusaha pun akan kendor,” papar Sartono.
Dalam kesempatan itu Sekjen APNI Meidy Katrin memaparkan bahwa ada beberapa implikasi hukum pencabutan IUP operasi produksi, yakni pertama tidak ada kegiatan usaha pertambangan dan penerimaan Negara.
Kedua, tenaga kerja tambang di PHK dan menambah pengangguran keresahan dan konflik sosial. Ketiga tidak adanya jaminan investasi dari pemerintah, bertentangan dengan program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) pasca Covid 19. Serta tidak ada jaminan bagi calon pemegang iup investor yang baru lebih baik dari investor sebelumnya. (ayu/sf) (artekil ini telah tayang di portal palemen DPR RI).